Kasus HIV dan Sifilis Meningkat, Didominasi Ibu Rumah Tangga

Ilustrasi HIV/AIDS
Ilustrasi HIV/AIDS

(JAKARTA) -- Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia meningkat di tahun 2023. Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Muhammad Syahril menyebut penularan kasus didominasi oleh ibu rumah tangga.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lainnya seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man).

“Aktivitas ini telah menyumbang sekitar 30% penularan dari suami ke istri. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya,” kata dr. Syahril.

Ia mengatakan, penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku sex berisiko.

Ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berisiko tinggi untuk menularkan virus kepada anaknya. Penularan bisa terjadi sejak dalam kandungan, saat proses kelahiran, atau saat menyusui.

Secara umum, penularan HIV melalui jalur ibu ke anak menyumbang sebesar 20-45% dari seluruh sumber penularan HIV lainnya seperti melalui sex, jarum suntik dan transfusi darah yang tidak aman.

Dampaknya, sebanyak 45% bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan lahir dengan HIV. Dan sepanjang hidupnya akan menyandang status HIV Positif.

“Di Indonesia saat ini, kasus HIV pada anak usia 1-14 tahun mencapai 14.150 kasus. Angka ini setiap tahunnya bertambah sekitar 700-1000 anak dengan HIV,” jelas dr. Syahril.

Terkait dengan proses deteksi, Kemenkes mencatat hanya 55% ibu hamil yang di tes HIV karena sebagian besar tidak mendapatkan izin suami untuk di tes. Dari sejumlah tersebut 7.153 positif HIV, dan 76% nya belum mendapatkan pengobatan ARV. ini juga akan menambah resiko penularan kepada bayi.

Melihat sumber infeksi, dr. Syahril menilai penularan HIV masih akan terus terjadi. Sebab dari 526.841 orang dengan HIV, baru sekitar 429.215 orang yang sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV dirinya. Artinya masih ada 100.000 orang dengan HIV yang belum terdeteksi dan berpotensi menularkan HIV ke masyarakat.

dr. Syahril menjelaskan upaya untuk melakukan skrining pada setiap individu kini menjadi prioritas pemerintah untuk mencapai eliminasi (termasuk pemutusan mata rantai penularan HIV secara vertikal dari ibu ke bayi). Setiap ibu yang terinfeksi, 100% harus mendapatkan tatalaksana yang cukup.

Melalui upaya ini, diharapkan angka dan data anak yang terinfeksi HIV sejak dilahirkan dapat ditekan, angka kesakitan dan kematian dapat ditekan dan yang terpenting adalah menekan beban negara dalam penanggulangan masalah Kesehatan masyarakat.

Selain HIV, penyakit sifilis atau raja singa juga dilaporkan meningkat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2016-2022). Dari 12 ribu kasus menjadi hampir 21 ribu kasus dengan rata-rata penambahan kasus setiap tahunnya mencapai 17.000 hingga 20.000 kasus.

dr. Syahril membeberkan presentase pengobatan pada pasien sifilis masih rendah. Pasien ibu hamil dengan sifilis yang diobati hanya berkisar 40% pasien. Sisanya, sekitar 60% tidak mendapatkan pengobatan dan berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan.

“Rendahnya pengobatan dikarenakan adanya stigma dan unsur malu. Setiap tahunnya, dari lima juta kehamilan, hanya sebanyak 25% ibu hamil yang di skrining sifilis. Dari 1,2 juta ibu hamil sebanyak 5.590 ibu hamil positif sifilis,” kata dr. Syahril.

Di akhir kata, dr. Syahril mengimbau pasangan yang sudah menikah agar setia dengan pasangannya untuk menghindari sex yang beresiko. Bagi yang belum menikah agar menggunakan pengaman untuk menghindari hal-hal yang dapat beresiko untuk kesehatan dan pertumbuhan mental.

Di Aceh, Kasus HIV dan AIDS Capai 2.021 Kasus

Sementara itu dari Banda Aceh dilaporkan bahwa Dinas Kesehatan Aceh mencatat pengidap Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) di daerah tersebut mencapai 2.021 kasus. Adapun rinciannya yakni, penderita HIV sebanyak 1.270 kasus dan AIDS 751 kasus.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Aceh, dr. Iman Murahman, Sp.KKLP, mengatakan, bahwa HIV dan AIDS memiliki perbedaan. HIV adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia namun tidak memiliki gejala, sedangkan AIDS suatu kondisi penurunan daya tahan tubuh yang parah akibat dari serangan virus HIV tersebut.

"Jika kita lihat yang masih dalam pengobatan HIV/AIDS itu ada 717 pasien, dan yang  terbanyak di kota Banda Aceh yakni 302 pasien," kata Iman di Banda Aceh, pada (Selasa, 9/5).

Menurut Iman, Banda Aceh memiliki pasien HIV dan AIDS terbanyak di Aceh. Hal itu disebabkan  karena di pusat ibukota Provinsi Aceh ini terdapat tempat pengobatan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA), RSUD Meuraxa, dan lainnya.

“Faktor utama penularan penyakit HIV dan AIDS di Aceh adalah sex bebas. Kemudian dari ibu hamil ke bayi, pengguna narkoba, suntik dengan memakai jarum yang sama dan berulang," ungkapnya.

Iman juga mengungkapkan jika dalam 2-3 tahun terakhir ini kasus terbanyak didominasi oleh LSL.

"Untuk di Provinsi Aceh sementara ini kasus terbanyak dalam 2-3 tahun terakhir didominasi oleh Lelaki Sex Lelaki atau LSL", tambah Iman.

Selama ini Dinas Kesehatan Aceh telah berupaya untuk pencegahan HIV/AIDS  yang dilakukan dengan pendekatan  kepada populasi kunci. Mulai pekerja sex, LSL, waria, pengguna narkoba suntik dimana memberikan edukasi dan melakukan Screening.

"Kemudian pencegahan dari  ibu ke anak agar tidak ada lagi yang tertular HIV dan bisa hidup normal," ucap Iman.

Memang ibu hamil diwajibkan untuk memeriksa HIV, termasuk pula semua warga binaan penjara,  pekerja seks, LSL dan waria. Selain itu juga memberikan penyuluhan ke sekolah-sekolah, Dayah dan tempat pendidikan lainnya.

"Bagi yang sudah terkena HIV kita lakukan pengobatan serta pemeriksaan setiap tahun, untuk melihat virus tersebut sudah meningkat atau tidak," ucap Iman.

Dinas Kesehatan Aceh, juga melakukan sosialisasi kesehatan di rumah sakit tingkat provinsi dan Puskesmas untuk pencegahan HIV/AIDS.

"Kendala penanganan HIV di Aceh tidak mempunyai komunitas khusus untuk pengobatannya, pasien HIV biasanya berkunjung ke tempat-tempat fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki  pemerintah. Apalagi, di daerah kita belum semua memiliki tempat pelayanan khusus penanganan HIV/AIDS,” pungkas Kabid P2P Dinas Kesehatan Aceh itu.

👁 12073 kali

Berita Terkait