JAKARTA - Kepedulian dan Edukasi terkait tuberkulosis (TBC) perlu lebih ditingkatkan karena masih ada stigma yang melekat pada masyarakat tentang penyakit itu. Hal itu dikatakan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Imran Pambudi, di Jakarta pada Sabtu (10/3/2024).
“Stigma tentang penyakit TBC masih ada di sebagian masyarakat, termasuk pada individu pasien TBC dan tenaga kesehatan,” katanya.
Ditambahkan Pambudi, ada sejumlah tantangan dalam penanganan TBC, salah satunya adalah cakupan pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) yang rendah, sebab ada masyarakat menolak menerimanya karena merasa tidak sakit dan tidak perlu mimum obat. Hal itu, katanya, disebabkan Infomasi tentang TPT yang belum sampai ke masyarakat secara luas.
TPT merupakan pemberian obat untuk mencegah TBC pada orang yang berisiko tinggi terkena TBC, seperti kontak erat pendenta TBC dan orang dengan HI/AIDS.
Padahal, kata dia, pemberian TPT bagi orang yang tinggal bersama dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV) dan populasi berisiko lainnya, adalah salah satu cara mencegah agar penyakit itu tidak menjangkit.
Dia menjelaskan bahwa TBC adalah penyakit kronis yang dapat menular dengan mudah melalui udara yang terkontaminasi dengan bakteri Mycobacterium tuberculcsis. Menurutnya, TBC dapat menyerang segala kalangan dan semua kelompok usia.
Dia mengutip data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) yang menunjukkan bahwa notifikasi kasus TBC tahun 2021 sebesar 443.235 kasus, tahun 2022 sebesar 724.309 kasus dan tahun 2023 berdasarkan data per tanggal 1 Februari 2024 sebesar 821.314 kasus.
"Hal tersebut merupakan kabar baik untuk Indonesia karena dengan semakin banyak kasus yang ditemukan maka semakin banyak kasus yang dapat diobati, sehingga rantai penularan TBC dapat lebih cepat dihentikan,” katanya.
Menurutnya, pengobatan TBC akan berhasil apabila ada komunikasi dan edukasi yang tepat mengenai tuberkulosis, yang mudah diterima masyarakat awam sehingga stigma tersebut hilang. Dia menilai, upaya seperti itu perlu melibatkan para mitra serta komunitas.
Imran mengatakan sebagai upaya pencegahan. Pemerintah telah menyebarkan informasi dan edukasi tentang gejala dan pencegahan TBC berupa poster, leaflet, iklan layanan masyarakat, posting di media sosial, dan lainnya. Setelah itu, pasien TBC perlu di berikan pendampingan psikososial dari komunitas serta organisasi penyintas TBC.
Dikatakan, tenaga kesehatan juga perlu diberikan edukasi mengenai pemberian terapi tersebut. Selain itu, katanya, peningkatan kapasitas perlu digiatkan bagi kader yang mendampingi pasien TBC.
Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan upaya upaya penanganan TBC oleh pemerintah, seperti pencegahan yang meliputi imunisasi bagi bayi baru lahir, promosi perilaku hidup bersih dan sehat, pengembangan vaksin TBC.
Kemudian upaya-upaya lainnya termasuk surveilans di tempat-tempat berisiko tinggi penularan TBC seperti rumah tahanan, pesantren, penampungan, peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan baik dari segi peralatan maupun Sumber daya manusia, serta penguatan kerja sama dengan pemerintah daerah guna memantau progres caparan pengendalian TBC di masing-masing daerah. Dia menilai penyakit tersebut tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, namun juga aspek psiko-sosial-ekonomi.
👁 3302 kali