Waspada Difteri.....

Penyakit difteri adalah penyakit menular mematikan yang menyerang saluran pernafasan bagian atas (tonsil, faring dan hidung) dan kadang pada selaput lendir dan kulit yang disebabkan oleh bakteri yaitu Corynebacterium diphteriae. Semua golongan umur baik anak-anak maupun orang dewasa dapat tertular oleh penyakit ini. Namun anak usia kurang dari 5 tahun dan orang tua diatas 60 tahun sangat beresiko tertular penyakit Difteri.

Difteri disebabkan oleh dua jenis bakteri, yaitu Corynebacterium diphtheriae dan Corynebacterium ulcerans. Masa inkubasi (saat bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul) penyakit ini umumnya dua hingga lima hari.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh dua hal yaitu tertular bakteri dari orang lain dan karier difteri. Karier difteri adalah seseorang yang sehat, tidak mengalami gejala penyakit difteri, tetapi hasil tes swab hidung menunjukkan positif adanya kuman difteri. Orang dengan karier difteri dapat disembuhkan dengan cara minum obat eritsomisin 4x1 selama 7 hari, serta dapat berkonsultasi pada petugas kesehatan apakah perlu mendapatan tambahan imunisasi

Gejala-gejala yang mengindikasikan penyakit ini meliputi:
 Terbentuknya membran abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
 Demam dan menggigil.
 Sakit tenggorokan dan suara serak.
 Sulit bernapas atau napas yang cepat.
 Pembengkakan kelenjar limfa pada leher.
 Lemas dan lelah.
 Hidung beringus. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang berdarah.

Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan bisul. Bisul-bisul tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.
Segera periksakan diri ke dokter jika Anda atau anak Anda menunjukkan gejala-gejala di atas. Penyakit ini harus diobati secepatnya untuk mencegah komplikasi.

Penularan Difteri
Penyakit Difteri terkenal sebagai penyakit menular yang berbahaya. Lalu bagaimana cara penularannya? Penyakit Difteri dapat menular melalui percikan ludah dari orang yang membawa bakteri ke orang lain yang sehat. Namun penyakit ini juga dapat ditularkan melalui benda atau makanan yang telah terkontaminasi dengan bakteri tersebut. Cara lain penularan penyakit difteri adalah dengan melakukan kontak intim.

Penyebaran bakteri difteri dapat terjadi dengan mudah dan yang utama adalah melalui udara saat seorang penderita bersin atau batuk. Selain itu, ada beberapa metode penularan lain yang perlu diwaspadai. Antara lain melalui:
 Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, misalnya mainan atau handuk.
 Sentuhan langsung pada bisul akibat difteri di kulit penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.
 Kontak langsung dengan hewan-hewan yang sudah terinfeksi, misalnya sapi.
 Meminum susu yang belum melalui proses pasteurisasi atau sterilisasi.
 Makanan yang terbuat dari susu yang belum melalui proses pasteurisasi atau sterilisasi.

Bakteri difteri akan memproduksi toksin yang akan membunuh sel-sel dalam tenggorokan. Sel-sel yang mati tersebutlah yang akan membentuk membran abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, toksin juga dapat menyebar lewat darah dan menyerang jantung serta sistem saraf.

Orang yang sudah menerima vaksinasi masih bisa terinfeksi penyakit ini. Namun mereka biasanya tidak menunjukkan gejala saat sedang terinfeksi. Tetapi Anda harus tetap waspada karena mereka juga dapat menularkan difteri.

Diagnosis dan Langkah Pengobatan Difteri
Diagnosis awal difteri biasanya terlihat dari gejalanya, misalnya sakit tenggorokan yang disertai pembentukan membran abu-abu. Dokter juga dapat mengambil sampel dari lendir di tenggorokan, hidung, atau bisul untuk diperiksa di laboratorium.

Jika seseorang diduga tertular difteri, dokter akan segera memulai penanganan, bahkan sebelum ada hasil laboratorium. Dokter akan menganjurkannya untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah pengobatan akan dilakukan dengan dua jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.

Antibiotik akan membantu tubuh untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama pasien menderita difteri.

Sebagian besar penderita tidak akan menularkan bakteri difteri lagi setelah meminum antibiotik selama dua hari. Tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap menyelesaikan proses pengobatan antibiotik sesuai anjuran dokter, yaitu selama dua minggu.

Penderita kemudian akan menjalani pemeriksaan laboratorium. Jika bakteri difteri masih ditemukan dalam tubuh pasien, dokter akan melanjutkan penggunaan antibiotik selama 10 hari.

Sementara antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter biasanya akan mengecek apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut atau tidak. Jika terjadi reaksi alergi, dokter akan memberikan antitoksin dengan dosis rendah dan perlahan-lahan meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien.

Bagi penderita yang mengalami kesulitan bernapas karena hambatan membran abu-abu dalam tenggorokan, dokter akan menganjurkan proses pengangkatan membran. Sedangkan penderita difteri dengan gejala bisul pada kulit dianjurkan untuk membersihkan bisul dengan sabun dan air secara seksama.

Selain penderita, orang-orang yang berada di dekatnya juga disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter karena penyakit ini sangat mudah menular. Misalnya, keluarga yang tinggal serumah atau petugas medis yang menangani pasien difteri.

Dokter akan menyarankan mereka untuk menjalani tes dan memberikan antibiotik. Terkadang vaksin difteri juga kembali diberikan jika dibutuhkan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan proteksi terhadap penyakit ini.

Komplikasi Difteri.

Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
 Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
 Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
 Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
 Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.

Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi
Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DPT. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.
Vaksin DPT adalah salah satu dari lima imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan lima kali pada saat anak berusia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 1,5-2 tahun, dan lima tahun.
Perlindungan tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri seumur hidupnya. Tetapi vaksinasi ini dapat diberikan kembali pada saat anak memasuki masa remaja atau tepatnya saat berusia 11-18 tahun untuk memaksimalisasi keefektifannya.

Penderita difteri yang sudah sembuh juga disarankan untuk menerima vaksin karena tetap memiliki risiko untuk kembali tertular penyakit yang sama.

 

👁 8749 kali

Berita Terkait