(Banda Aceh) -- Malam itu, laut tak sepenuhnya ramah. Ombak mengayun perlahan, angin membawa semilir hawa dingin, dan langit gelap menjadi saksi awal sebuah perjalanan panjang yang akan dikenang sebagai salah satu misi kemanusiaan paling menantang di penghujung tahun 2025.
Tanggal 3 Desember 2025, Jam 3 pagi buta hari itu, tim membelah laut menuju wilayah timur. Sebuah kapal bertolak dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Bukan kapal wisata, bukan pula kapal dagang. Di dalamnya, tersimpan harapan: ratusan dus obat-obatan untuk masyarakat di wilayah timur Aceh yang tengah dilanda banjir, menembus isolasi jalur darat yang terkoyak akibat diterjang banjir.
Di antara para penumpangnya, ada Tim Kesehatan yang memilih jalan sunyi—menembus laut, gelap, dan ketidakpastian. Tak ada alternatif lain, jalur darat yang selama ini menjadi andalan, telah porak poranda di hantam banjir bandang, di banyak tempat, jembatan dan jalan putus, tak lagi bisa mengantar sebuah harapan bagi mereka terkena amarah air bah itu.
Di barisan depan rombongan berdiri dr. T. Chik Iqbal Fauriza, M.Kes, Koordinator Lapangan Wilayah Timur, yang sehari-hari bertugas sebagai Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Aceh. Ia tidak sendiri. Ayong Liza, SKM, M.Si, Kepala Bapelkes Aceh, ikut bersama dalam perjalanan yang tak ia sebut sebagai tugas, melainkan panggilan kemanusiaan.
Krueng Geukueh menjadi pelabuhan pertama yang mereka tuju di Aceh Utara. Logistik diturunkan cepat—tanpa banyak kata, tanpa banyak jeda-- untuk menyuplai kebutuhan obat-obatan dan PMT balita di Dinkes Kota Lhokseumawe. Berpacu dengan waktu. Korban banjir tak bisa menunggu. Sakit tak bisa ditunda.
Perjalanan berlanjut pelabuhan ke Kuala Idi. Namun harapan sempat tertahan. Petugas yang ditunggu tak berada di tempat. Di tengah kelelahan, tak ada ruang untuk kecewa. Keputusan diambil cepat: perjalanan dengan jalur laut terus berlanjut ke Kuala Langsa.
Di sanalah, di tengah malam yang mulai larut, logistik akhirnya diturunkan. Obat-obatan dan PMT Balita untuk Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa berpindah dari geladak kapal ke tangan para petugas. Malam itu bukan sekadar gelap oleh ketiadaan cahaya, tapi juga berat oleh letih yang menumpuk—namun tidak ada yang menyerah.
Tanggal 4 Desember, perjalanan dilanjutkan. Kali ini dengan jalur darat. Logistik diangkut menggunakan mobil Truk Satpol PP dan ambulan PSC Kota Langsa, bergerak cepat menuju Kota Langsa.
Setelah menurunkan logistik berupa obatan-obatan dan PMT Balita yang diperlukan bagi korban banjir. Rombongan bergerak lagi menuju Aceh Tamiang. Jalanan dipenuhi kubangan lumpur, dan berbagai material kayu dan rumah yang ikut terbawa banjir.
Saat tiba di Tamiang. Di lokasi, semuanya gelap. Lampu padam. Jalan sunyi. Namun di balik gelap itu, ada warga yang menunggu. Ada anak-anak, ada lansia, ada ibu-ibu yang menggenggam harap agar obat cepat sampai. Dan pagi itu, harapan akhirnya tiba.
Dalam perjalanan penuh risiko itu, Tim Dinas Kesehatan Aceh tidak sendiri. Ada tim medis dari RSCM, relawan kemanusiaan dari MER-C, serta tim medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala yang berjalan bersama, menyatukan tenaga, memadukan kepedulian.
Tak banyak yang tahu tentang malam panjang itu. Tak semua orang melihat bagaimana laut ditembus, bagaimana kelelahan dilawan, bagaimana gelap diterangi oleh tekad dan perjuangan untuk setitik harapan bagi warga yang menjadi korban. Namun bagi warga yang berada di wilayah timur Aceh (Aceh Timur, Kota Langsa dan Tamiang) yang terdampak banjir, perjalanan mereka malam itu adalah jawaban atas doa-doa yang dipanjatkan dalam sunyi.
Di tengah bencana, kemanusiaan selalu menemukan jalannya. Sungguh sebuah perjalanan yang penuh tantangan dan penuh perjuangan dalam menyuplai obat-obatan untuk yang dampak banjir di wilayah timur.
👁 229 kali




