Difteri Sangat Menular dan Berbahaya, Namun Bisa Dicegah Dengan Imunisasi

Cegah Difteri Dengan Imunisasi Lengkap
Cegah Difteri Dengan Imunisasi Lengkap

(BANDA ACEH) -- Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular dan Berbahaya. Difteri ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi. Terutama pada selaput mukosa tenggorokan, faring, laring. tonsil, hidung, juga pada kulit.

Penyebab utama difteri adalah infeksi bakteri Corynebacterium diphteriae yag menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta dapat mempengaruhi kulit.

Penularan penyakit ini dapat disebarkan melalui batuk, bersin, atau luka terbuka.

Tanda dan gejala awal dari penyakit ini adalah berupa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian atas seperti batuk, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi kurang dari 38,5 derajat Cercius, serta timbul adanya pseudomembrane atau selaput putih/ keabu-abuan/ kehitaman di rongga mulut hingga tenggorokan tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, dan berdarah apabila diangkat.

Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr. Munawar Sp.OG, mengatakan, sebanyak 94 persen kasus difteri mengenai tenggorokan daerah tonsil dan faring.

Pada keadaan lebih berat yang memang sering terjadi di Aceh, penyakit ini dapat ditandai dengan kesulitan menelan, tidak bisa makan, hanya bisa minum sedikit-sedikit, sesak napas, stridor atau suara kasar/serak, dan pembengkakan pada leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck).

Penyakit ini dapat menyerang orang-orang dari segala usia dan berisiko menimbulkan infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.

Kematian biasanya terjadi karena obstruksi atau sumbatan jalan napas karena tertutup selaput putih keabu-abuan, kerusakan otot pembungkus jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan gagal ginjal.

Menurut dr. Iman Murahman, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P), Dinas Kesehatan Aceh, manusia adalah satu-satunya reservoir atau perantara kuman yang bernama Corynebacterium Diptheriae yang menularkan penyakit difteri ini.

Penularan terjadi secara droplet atau percikan ludah dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi atau luka di kulit.

Penyakit ini, kata dr. Iman, dapat dicegah dengan imunisasi. Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan (imunitas) dengan imunisasi, maka angka kematiannya sekitar 50 persen. Sedangkan dengan terapi atau pengobatan pun angka kematiannya sekitar 10 persen (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017).

Angka kematian difteri, sebut Iman, rata-rata 5-10 persen pada anak usia kurang 5 tahun dan 2025 pada dewasa (di atas 40 tahun), (CDC Atlanta, 2016).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, komplikasi difteri terjadi pada 26 dari 71 penderita difteri atau 36,69 persen.

“Difteri dan komplikasinya dapat dicegah dengan melakukan imunisasi difteri secara berulang,” imbuh dr. Iman.

Penyakit difteri, terang Iman, tersebar di seluruh dunia. Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 dibandingkan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016).

Demikian pula jumlah kabupaten / kota yang terdampak pada 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 kabupaten/ kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 kabupaten/kota.

Sejak vaksin toxoid difteri diperkenalkan pada tahun 1940-an, maka secara global pada periode tahun 1980 - 2000, total kasus ditteri menurun lebih dari 90 persen.

Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan tiga kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya imunisasi lanjutan DT dimasukkan ke dalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 19384.

Untuk semakin meningkatkan perlindungan dari penyakit difteri, Kata Iman, imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak SD.

Jadi, untuk saat ini di Indonesia dan di Aceh, program imunisasi difteri terdiri atas imunisasi dasar dan Imunisasi lanjutan.

Imunisasi difteri dasar, lanjut Iman, dilakukan dengan berturut-turut memberikan imunisasi DPT-HB-Hib 1, 2, 3, dan 4 pada bawi usia 2, 3, 4, dan 12-24 bulan atau 12 bulan setelah menerima imunisasi DPT-HB-Hib 3.

Imunisasi diftreri lanjutan bagi anak usia sekolah dasar diberikan tiga Kali, yaitu imunisasi DT pada anak kelas 1, imunisasi Td pada anak kelas 2, dan 5.

Di Indonesia, angka cakupan imunisasi dasar DPT-HB-Hib (1) dan DPT-HB-Hib (3) telah mencapai 95,3 persen dan 93,3 persen pada tahun 2016 serta 90,7 persen dan 88,3 persenpada tahun 2017. (Dhinata, 2018. WHO, 2017).

Status imunisasi, kata dr Iman, berhubungan dengan kejadian difteri berat dengan persentase insiden difteri berat lebih banyak terjadi pada pasien dengan status tidak imunisasi dan imunisasi tidak lengkap.

"Jadi, imunisasi lengkap itu adalah keharusan", tegas dr. Iman Murahman menjelaskan.

👁 2184 kali

Berita Terkait